A . Sejarah Sasando
Sasando berasal dari kata sari (petik) dan sando (bergetar) yang
diyakini diciptakan Sanggu Ana pada abad ke-15 di pulau kecil dekat Pulau Rote,
yaitu Pulau Dana, yang waktu itu dikuasai
Raja Taka La'a. Sanggu adalah warga Nusa Ti'i di Pulau Rote Barat Daya. Dia
ditahan Raja Dana saat terdampar di
pulau itu ketika mencari ikan bersama kawannya, Mankoa. Selain seorang nelayan,
Sanggu juga seorang seniman.
Saat itu Raja Dana memiliki putri, dan putri itu jatuh cinta
terhadap Sanggu. Kepada Sanggu, putri menyampaikan permintaannya untuk memiliki
alat musik baru yang diciptakan Sanggu untuk bisa menghibur rakyat. Putri
memang suka membuat hiburan rakyat saat purnama tiba.
Hubungan putri dengan Sanggu itu ketahuan Raja Dana. Sang Raja
Taka La'a marah besar dan menghukum mati Sanggu. Kawan Sanggu yang sempat melarikan
diri, Mankoa, melaporkan kejadian itu ke Nusa Ti'i. Anak Sanggu di Ti'i, Nale
Sanggu, marah mendengar ayahnya tewas. Nale balas dendam bersama 25 kesatria
Ti'i. Seisi Pulau Dana dimusnahkan, hanya anak-anak dan alat musik sasando
warisan ayahnya yang diselamatkan ke Ti'i.
Di Ti'i sasando dimodifikasi, talinya menjadi sembilan. Musiknya
sudah bisa lima not terdiri dari mi, sol, la, do, re. Si dan fa tidak ada. Pada
zaman Belanda, abad ke-18, jumlah tali ditambah menjadi 10 tali. Sesudah merdeka
kembali mengalami perubahan dengan menambahkan tali menjadi 11 tali. Pada abad
ke-19, sasando haik itu dimodifikasi menjadi sasando biola oleh putra Ti'i
bernama Kornelis Frans. Disebut sasando biola karena saat membuat nadanya
disesuaikan nada biola. Jumlah tali menjadi 39 buah dan nada pokok menjadi tujuh not. Ruang
resonansinya tak lagi menggunakan haik, namun diganti kotak kayu dan dihubungkan
amplifier agar suaranya nyaring.
B . Sasando
Saat Ini
Sasando
memiliki notasi yang tidak beraturan dan tidak terlihat karena terbungkus
resonator. Sasando dimainkan dengan dua tangan dari arah berlawanan, kiri ke
kanan dan kanan ke kiri. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas,
sementara tangan kanan bertugas memainkan accord.
Sasando
mempunyai media pemantul suara yang terbuat dari daun Pohon Gebang
(sejenis Pohon Lontar yang banyak tumbuh di Pulau Timor dan Pulau Rote) yang
dilekuk menjadi setengah melingkar. Tempat senar-senar diikat terbuat dari
bambu yang keras, penahan senar yang sekaligus sebagai pengatur nada senar juga
terbuat dari bambu. Batang bambu itu lalu diikat menyatu dengan daun Gebang
yang dibuat melingkar tadi. Tabung sasando ini terletak dalam sebuah wadah yang
terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas.
Wadah ini
adalah tempat resonansi sasando. Bunyi
sasando sangat unik, karena dibanding gitar biasa sasando lebih bervariasi, hal
ini karena sasando memiliki 28 senar. Itulah sebabnya memainkan Sasando
tidaklah mudah karena seorang pemain Sasando harus mampu membuat
ritme dan feeling bunyi nada yang tepat dari seluruh senar yang ada.
Sasando dengan 28 senar ini dinamakan Sasando engkel, sedangkan jenis
Sasando dobel memiliki 56 senar, bahkan ada yang 84 senar.
Saat ini sasando sudah mulai di modifikasi.
Pemantul bunyi dari daun gebang sudah diganti dengan spul gitar listrik yang
ditempelkan pada batang bambu ditengah sasando. Tentu sasando model ini hanya
bisa mengeluarkan bunyi keras dengan bantuan sound system .
Sasando saat
ini sudah mulai langka karena tidak ada orang yang mau memainkannya lagi.
Tetapi berbeda dengan Jacko H.A. Bullan. Ia adalah salah satu dari 8 orang
pewaris sasando rote yang tersisa. Untuk mendukung niatnya melestarikan sasando
ia pindah ke Jakarta. Dan hasilnya pun sepadan, order manggung Jack semakin
banyak. Sejumlah
negara pun pernah ia datangi untuk pentas mulai dari Malaysia, Jepang, hingga
Spanyol. Di Jakarta, Jack membuka rumahnya bagi siapa pun yang ingin belajar
sasando.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar