GENDANG BELEQ
Gendang
Beleq adalah adalah salah satu alat musik tradisional suku sasak di lombok.
Gendang beleq sendiri artinya Gendang Besar karna ukurannya memeang besar
melebihi ukuran normalnya. Gendang Beleq diciptakan untuk mengiri dan
menghibur para prajurit menuju medan perang dan menyabut kedatangan dari medan
perang akan tetapi dengan perkembangan zaman gendang beleq digunakan untuk
menyambut kedatangan tamu.
Gendang
Beleq sendiri pada dasarnya merupakan alat musik akan tetapi lebih dari itu
penyajian gendang beleq merupakan seni tari yang memeliki keunikan dan ke
khas an tertentu sebagai sebuat tarian.
Gendang
Beleq terdiri dari 2 orang penabug gendang, 4 atau 6 orang penari oceh/oncer ( disebut demikian karena para penari sambil menari memegang alat musik
copeh yang sewaktu-waktu di mainkan mengikuti irama musik ) dan 1 orang penari petuk ( membawa alat
musik petuk yang dimainkan mengikuti irama musik), Selain itu masih banyak juga
alat musik yang digunakan dalam penyajian gendang beleq ini seperti suling,
gong, terumpang, kenceng, oncer, pencek.
Penyajian
Gendang Beleq ini memiliki bagian-bagian seperti :
1.
Bagian pertama ditarikan bersama oleh penari oncer,
gendang dan petuk. Bagian ini merupakan gambaran keberangkatan para prajurit ke
medan perang.
2.
Bagian
kedua ditarikan oleh penari petuk dengan gerak-gerak yang lucu. Bagian
ini merupakan tari untuk menghibur
3. Bagian ketiga ditarikan bersama penari oncer,
gendang, dan petuk. Bagian ini merupakan gambaran setelah peperangan selesai.
Selain memiliki bagian-bagian tertentu dalam penyajiannya, gendang beleq
juga memiliki struktur penyajian seperti :
- Diawali
dengan masuknya 2 orang penari gendang, tampak tarian ini sangat gagah dan
dinamis.
- Kemuclian
masuk 4/6 orang penari oncer, se.entara penari gendang mengambil posisi di
samping kiri kanan sebagai latar belakang.
- Penari
oncer mengambil posisi clucluk sambil menyanyi lagu Pampang Paoq.
- Sebagai
akhir sari penari oncer keluar pentas diikuti penari gendang.
Para
penari Gendang Beleq memakai busana celana tiga perempat, baju krah sanghai
lengan panjang, ikat pinggang, kain tiga perempat, dodos, dan ikat kepala,
sedangkan penari oncer mengenakan busana celana tiga perempat, baju krah
sanghai lengan panjang, ikat pinggang, kain tiga perempat, ikat kepala, dan
hiasan dada.
CEPUNG
Kesenian
tradisi yang kini hanya hidup di Desa Jagaraga, Kecamatan Kediri, Lombok Barat.
Tidak diketahui secara pasti bagaimana asal - muasal perkembangannya.
Biasa dimainkan di arena terbuka tanpa dekorasi ruang tertentu. Pemain duduk
bersama melingkar, kemudian masing-masing memainkan perannya sesuai kemampuan
semalam suntuk.
Mulut sebagai alat musik. Diperkirakan merupakan kelanjutan dari seni pepaosan, yakni pembacaan cerita-cerita lontar dengan tembang. Para pemain mengambil cerita monyeh yang dikarang dalam bentuk seloka berbahasa Sasak.
Mulut sebagai alat musik. Diperkirakan merupakan kelanjutan dari seni pepaosan, yakni pembacaan cerita-cerita lontar dengan tembang. Para pemain mengambil cerita monyeh yang dikarang dalam bentuk seloka berbahasa Sasak.
CILOKAQ
Cilokaq merupakan
seni musik yang bernafaskan padang pasir yang gubahan-gubahan lagunya bersumber
dari nada gambus tunggal. Tetapi, dalam perkembangannya, musik Cilokaq
dikembangkan lagi dengan penambahan alat-alat musik lainnya seperti jidur,
suling, gitar, gendang (ketipung).
Musik Cilokaq dulunya
sebagai penghibur biasa, namun karena hanyak permintaan untuk mengisi berbagai
acara akhirnya tidak dapat dihindari kalau seni musik asli Cilokaq mengikuti
perkembangan yang ada.
TOKOH KESENIAN LOMBOK
Bagi kalangan seniman
tradisi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Amaq Ridin adalah "maestro"
yang tidak saja sebagian besar hidupnya diabdikan untuk kesenian daerah itu,
tetapi juga karena dia menguasai teknik memainkan redep atau rebab. Alat musik
yang juga biasa digunakan untuk kesenian gambang kromong (Betawi).
Matahari tengah
beranjak siang, tetapi Puasi yang sering dipanggil Amaq Ridin masih tergolek
tidur beralas tikar di ruang tamu rumahnya di Lingkungan Gerung Butun Timur,
Kelurahan Mandalika, Kecamatan Sandubaya, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
"Niki lemes
gati, wah setahun lebih ndek tiang bau milu ngelining kance batur lalo
tetanggep (Ini yang lemas, sudah setahun lebih saya tidak bisa ikut teman-teman
memenuhi undangan pentas)," katanya menunjuk dengkul sambil menyingkap
selimut. Untuk berdiri pun Ridin sudah susah, malah saat berjalan badannya
harus disangga tongkat.
Bagi seniman tradisi di Lombok, anak keempat dari pasangan Amak Tasih dan
Inak Tasih ini adalah maestro redep atau rebab. Pemerhati seni tabuh Sasak
Lombok, Ida Wayan Pasha, menyebut Ridin sebagai "manusia langka"
karena nyaris hanya dia yang punya keterampilan teknis, ketekunan, dan
kesetiaan melestarikan alat musik gesek itu sampai usia sepuh.
Redep di Lombok digunakan sebagai alat musik pengiring, seperti gamelan
gandrung dan teater tutur cepung. Dalam kesenian ini hanya dua instrumen
pengiring: redep dan suling; sedangkan alat musik lain, seperti gendang,
kenceng, dan rincik, ditirukan dengan mulut oleh empat pemain. Sewaktu mementaskan
kesenian ini, para pemain duduk bersila.
Setiap pemain bertugas sebagai pembaca (pemaos) syair naskah lontar cerita
"monyeh" yang merupakan sumber cerita. Sementara tiga orang lainnya
bertindak selaku pemain musik vokal, seraya melontarkan syair atau pantun
secara bergantian, diiringi suling dan redep, instrumen yang dipegang Ridin.
Ridin mempunyai kelompok tetap yang sampai kini tetap kondang, namanya
Cepung Jagaraga. Nama itu diambil dari nama sebuah desa di Kecamatan Kediri,
Lombok Barat. Namun, setahun terakhir ini ia tak pernah tampil, terhalang usia
tua dan sakit.
"Laek, semasih tiang seger, marak bukaldoang, (Dulu, selagi masih
segar-segarnya, kami seperti kelelawar, begadang pada malam hari dan tidur
sejak pagi sampai sore," ujarnya berkelakar.
Personel kelompok Cepung Jagaraga adalah Mamik Ambar (pemaos), Ketut
Bagiada (punggawa, penerjemah naskah lontar), Komang Ludri (penyokong,
pendukung), Dewa Made Mudra (pemain suling), dan Ridin (redep).
Bersama kelompoknya itu, Ridin mengembara ke berbagai dusun dan desa di
Lombok demi memenuhi undangan acara pernikahan, khitanan, potong gigi, dan
hajatan lainnya. "Tidak seperti sekarang naik kendaraan, dulu kalau
tidaknaik dokar, kami biasa berjalan kaki memenuhi undangan," katanya.
Jika pentas ke daerah yang terbatas fasilitas angkutan umumnya, seperti
Lombok Tengah bagian selatan, dokar yang mereka tumpangi pun ikut menginap.
Kala itu, tahun 1960-1970-an, Ridin mengaku biasa menerima bayaran antara Rp 75
dan Rp 150 per orang. Belakangan ini seorang bisa mendapat sekitar Rp 500.000
sekali tampil.
Begitu kesohornya Cepung Jagaraga, sampai grup kesenian lain enggan tampil
bareng mereka dalam satu acara hajatan. Dengan besar hati, Ridin mengalah untuk
memberi kesempatan kepada grup kesenian lain tampil lebih dulu.
"Kalau kami beraksi, takut penonton tersedot," ujarnya. Penonton
sudah mengarahkan diri ke asal suara meski saat itu Ridin baru menyiapkan
instrumennya, seperti menyetem dawai redepnya.
Karena keterampilannya, Ridin acapkali "dipinjam" grup gamelan
gandrung di sejumlah desa di Lombok Barat. Ia, misalnya, turut bermain dalam
acara perang topat di Kemalik, Desa Lingsar. Kali ini dia menjadi pemegang
redep dari grup gamelan gandrung yang mengiringi tarian baris batek.
Dalam kesempatan membantu grup itu, Ridin sering kali ditanya langsung oleh
sekehe gamelan soal cara memainkan redep. Ada pula yang secara
"sembunyi-sembunyi" memerhatikan gerakan tangan Ridin.
Keberatankah dia? "Saya mau menunjukkan sampai detail teknik menggesek
senar hingga strategi memindahkan atau pergerakan jemari tangan agar melahirkan
nada suara yang bersih, tidak fals dan terputus-putus. Tak ada masalah,"
jawabnya kalem.
Akan tetapi, tambahnya, "guru" sebatas memandu, tak bisa
mewariskan kemampuan. Selain keterampilan, dalam memainkan redep atau instrumen
musik pada umumnya diperlukan harmonisasi antara gerak fisik dan jiwa atau
rasa.
Ridin bercerita, saat membantu grup kesenian lain, dia pernah terlambat
datang ke lokasi pentas di wilayah Lombok Barat. Saat itu Ridin sedang
"dibon" grup kesenian gandrung. "Penonton yang mulai bubar
kembali lagi saat melihat saya datang dibonceng pengojek ha-ha-ha,"
ujarnya.
Cepung mengandung
humor yang disampaikan lewat pantun. Ridin pun ikut
bercanda lewat redep. Ia bisa menggesek senar redep untuk menirukan suara rusa,
atau suara ngiiik-ngiiik yang membawa imajinasi penonton pada napas orang
berpenyakit asma.
Di kampungnya, Ridin sangat populer. Pada saat senggang, sepulang bekerja
di sawah, ia selalu meluangkan waktu membersihkan redep, seraya berlatih
memainkan gending-gending. Tak lama kemudian banyak orang datang ke
rumahnya, melihat secara gratis kepiawaian Ridin memainkan redep.
Tak ada guru yang
mengajari Ridin memainkan redep. Pria buta huruf ini mendapatkan kemahiran
bermain redep secara otodidak. Perjumpaannya dengan
redep terjadi saat dia magang sebagai anggota grup gamelan gandrung di Mataram.
Ia dipercaya memegang instrumen saron.
Grup gamelan itu memiliki redep, tetapi tak ada satu anggota pun yang bisa
memainkannya. Ridin berinisiatif belajar memainkan redep. Katanya, karena sudah
"jodoh" disertai ketekunan, ia bisa dipercaya anggota grup gamelan
gandrung itu untuk memegang redep. Sejak itulah orang mengenalnya sebagai
pemain redep.
Belakangan Ridin bertemu Amak Ace, pemain redep di Desa Lingsar, Lombok
Barat. Amak Ace lalu memegang tangan Ridin seraya mulutnya komat-komit. Setelah
Amak Ace meninggal, Ridin menerima warisan sebuah redep yang lalu menjadi
pegangannya selama berkesenian. Begitulah nasib seniman tradisi yang umumnya
memiliki kemampuan teknis, tetapi tak punya alat.
Pada usia senja, Ridin
hanya mengharapkan bantuan anak-cucu untuk menyambung hidup, selain juga dari
panen padi dan palawija milik orang lain yang memercayainya sebagai penyakap
(petani penggarap). Bagaimanapun Ridin tetap bangga. Ini ditunjukan antara lain
lewat selembar sertifikat yang diperolehnya dari Taman Budaya NTB dan beberapa
lembar foto saat dia memainkan redep yang kini dipajang di dinding rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar