
Sebenarnya
pertunjukan tersebut tidak terlalu banyak dihadiri oleh penonton. Terbukti
dengan cukup banyaknya bangku yang kosong di Teater Kecil. Saya tidak dapat
memastikan kenapa banyak bangku yang kosong dipertunjukan tersebut, walaupun pengisi
acara pada malam itu adalah Talea Ensembel. Ensembel yang berasal dari USA ini
telah memiliki jam terbang yang terbilang tinggi. Mereka pernah menjadi tamu
pada acara Spectrum XXI, sebuah festival selama 18 hari di Paris dan London.
Lalu di Nevada Encounters of New Music (NEON), serta di La Ciudad de las Ideas
(Mexico), dan the International Contemporary Music Festival yang
diselenggarakan di Lima, Peru.
Dengan pengalaman
yang begitu banyak, tidak berlebihan jika saya memberikan rasa salut saya
kepada mereka. Talea Ensembel sendiri sebenarnya terdiri dari 8 seniman jenius,
yaitu Tara Helen O’connor – flute, Rane Moore – clarinet, Erik Carlson – biola,
Elizabeth Weisser – biola alto, Chris Gross – cello, Anthony Cheung – piano,
Steve Beck – piano, Alex Lipowski – perkusi. Namun sayangnya pada malam itu
saya hanya bisa menikmati kejeniusan Steve Beck dan Alex Lipowski. Hal ini
dikarenakan Talea ensembel yang sebenarnya tampil secara dua hari berturut –
turut, jadi sehari sebelumnya mereka telah tampil dengan membawakan 6 buah
karya komposisi yang terbilang cukup baru. Empat dari enam karya yang dibawakan
diciptakan diatas tahun 1990, hanya dua karya yang diciptakan dibawah tahun
itu, yaitu Tutte le Corde (1994) – Milton Babbitt, dan Le Corps a Corps (1978)
– Alexandre Lunsqui.
Pada malam saat saya
hadir pun mereka lebih banyak membawakan karya – karya yang masih sangat fresh,
sebagai contoh adalah komposisi pertama yang dibawakan oleh Steve Beck dan Alex
Lipowski. Mereka membawakan karya seorang Jose-Luis Hurtado yang berjudul
Diptico (2010). Dengan Steve Beck sebagai pianis dan Alex Lipowski sebagai
pemain xylophone, Diptico dimainkan dengan baik. Xylophone sendiri adalah alat
musik pukul yang berasal dari Slovakia. Namun nama xylophone adalah etimologi
dari bahasa Yunani, yaitu xilo yang artinya kayu dan foni yang berarti suara.
Jadi xylophone sendiri mempunyai arti alat musik kayu yang dapat menghasilkan
suara dengan cara dipukul.
Diptico sendiri
adalah karya kontemporer yang menurut saya pribadi cukup rumit. Mengingatkan
saya atas pertanyaan yang sempat terlintas dibenak saya “kenapa acara ini sepi
yah?”. Namun beberapa saat setelah Talea ensembel memulai aksinya, disitu saya
seperti menemukan jawabannya “Hmm, pantes aja sepi. Yang kaya begini susah
banget buat dinikmati”. Mungkin jika boleh dibandingkan dengan musik mainstream
seperti karya lukis abstrak dan karya lukis realistis. Untuk saya pribadi Talea
ensembel adalah contoh seniman yang mengusung art for soul, bukan art for sale jika
melirik dari karya – karya yang mereka bawakan.
Kembali pada acara
malam itu, harus saya akui bahwa mereka sangat kreatif dan menarik. Mungkin
kata unik juga patut mereka sandang. Setelah Diptico berhasil mereka bawakan,
untuk karya kedua mereka membawakan karya Frederic Rzewski – Lost and Found
(1984). Dalam karya ini Alex Lipowski muncul keatas panggung dengan
bertelanjang dada. Saat Ia keluar saya sangat kaget, “mau apa yah?”. Ternyata
karya tersebut dibawakan tanpa instrumen, Ia (Alex Lipowski) menghasilkan suara
hanya dengan tubuhnya. Entah itu dipukul, digaruk, atau yang keluarnya dari
mulutnya. Adanya unsur teatrikal pada karya ini sebenarnya cukup menjadi bumbu
yang menarik. Buat saya ini sangat menghibur, ada sisi jenaka dan cerita dalam
karya itu namun tetap mengedepankan unsur musiknya. Dua jempol untuk Alex
Lipowski atas inspirasinya.
Setelah Lost and
Found selesai dibawakan dengan sangat menghibur, Talea Ensembel kembali tampil,
kali ini dengan karya Pierre Boulez – Incises (2001). Kembali dengan duet Steve
Beck dan Alex Lipowski. Namun walaupun karya ini terbilang lebih rumit dan
lebih cepat dari Diptico, saya lebih bisa menikmati karya ini. Walaupun jika
ditanya kenapa lebih suku Incises dibanding Diptico, saya sendiri tidak tau kenapa,
entah karena memang lagunya yang lebih dinamis atau mungkin saya sudah mulai
terbiasa karena sudah lewat setengah jam telinga saya disuguhkan dengan
komposisi yang rumit. Singkat kata, karya Incises cukup bisa memanjakan telinga
saya.
Setelah terhibur
dengan Incises, acara tersebut istirahat selama sepuluh hingga lima belas
menit. Singkatnya setelah istirahat, acara kembali dilanjutkan oleh Talea Ensembel.
Kali ini pun mereka kembali membawakan karya komposisi yang bisa terbilang
masih muda, yaitu karya Pierluigi Billone – Mani.Mono (2008). Masih seperti
karya sebelumnya, karya yang hampir sepuluh menit ini juga masih bisa dikatakan
sangat rumit namun tetap kreatif dan sangat menarik untuk disaksikan. Dikarya
ini kembali sang Alex Lipowski tampil solo. Setelah karya ini berakhir, Talea
ensembel menutupnya dengan karya Charles Wuorinen – Percussion Duo (1979).
Sebuah karya penutup yang menarik dan cukup memberikan kesan kepada saya
pribadi.
Dengan berakhirnya
Percussion Duo maka berakhir pula
pertunjukan musik kontemporer dari Talea Ensembel. Saya merasa apresiasi
saya cukup terbayar dengan penampilan mereka, dan bisa pulang dengan inspirasi
yang mereka tawarkan. Dari kacamata pribadi saya acara Art Summit yang
mengusung tema “Dengan Seni Budaya Membangun Karakter Bangsa” berhasil menambah
pengetahuan dari sisi berkesenian, walaupun dari sisi marketing atau sukses
tidaknya mereka menarik minat masyarakat untuk hadir masih dikategorikan kurang
berhasil pada malam itu. Mungkin dengan promosi yang lebih terarah, lain waktu
acara tersebut bisa lebih sukses baik dari segi art for soul dan art for sale.
Terima kasih.
Artikel Menarik Lainnya
- Liputan Pertunjukan Talea Ensembel (Art Summit V 2010)
- 5 Film Tentang Musik Yang Wajib Di Tonton
- London Symphony Orchestra Vs Twilite Orchestra
- Giulio Cesare (1723)
- Handel dan Opera Barok
- Alasan - Alasan Seorang Musisi
- Aqsin M ( Guru Gitar Elektrik )
- Kevin K ( Guru Gitar Elektrik )
- John Lennon Vs Kurt Cobain
- Bass Elektrik Vs Kontrabass
Tidak ada komentar:
Posting Komentar