3 Jul 2012

Liputan Pertunjukan Talea Ensembel (Art Summit V 2010)


JAKARTA – Kreatif dan menarik. Mungkin kata – kata tersebut cukup untuk mewakili pertunjukan musik ensembel di gedung Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Kamis (21/10) malam.

Sebenarnya pertunjukan tersebut tidak terlalu banyak dihadiri oleh penonton. Terbukti dengan cukup banyaknya bangku yang kosong di Teater Kecil. Saya tidak dapat memastikan kenapa banyak bangku yang kosong dipertunjukan tersebut, walaupun pengisi acara pada malam itu adalah Talea Ensembel. Ensembel yang berasal dari USA ini telah memiliki jam terbang yang terbilang tinggi. Mereka pernah menjadi tamu pada acara Spectrum XXI, sebuah festival selama 18 hari di Paris dan London. Lalu di Nevada Encounters of New Music (NEON), serta di La Ciudad de las Ideas (Mexico), dan the International Contemporary Music Festival yang diselenggarakan di Lima, Peru.

Dengan pengalaman yang begitu banyak, tidak berlebihan jika saya memberikan rasa salut saya kepada mereka. Talea Ensembel sendiri sebenarnya terdiri dari 8 seniman jenius, yaitu Tara Helen O’connor – flute, Rane Moore – clarinet, Erik Carlson – biola, Elizabeth Weisser – biola alto, Chris Gross – cello, Anthony Cheung – piano, Steve Beck – piano, Alex Lipowski – perkusi. Namun sayangnya pada malam itu saya hanya bisa menikmati kejeniusan Steve Beck dan Alex Lipowski. Hal ini dikarenakan Talea ensembel yang sebenarnya tampil secara dua hari berturut – turut, jadi sehari sebelumnya mereka telah tampil dengan membawakan 6 buah karya komposisi yang terbilang cukup baru. Empat dari enam karya yang dibawakan diciptakan diatas tahun 1990, hanya dua karya yang diciptakan dibawah tahun itu, yaitu Tutte le Corde (1994) – Milton Babbitt, dan Le Corps a Corps (1978) – Alexandre Lunsqui.

Pada malam saat saya hadir pun mereka lebih banyak membawakan karya – karya yang masih sangat fresh, sebagai contoh adalah komposisi pertama yang dibawakan oleh Steve Beck dan Alex Lipowski. Mereka membawakan karya seorang Jose-Luis Hurtado yang berjudul Diptico (2010). Dengan Steve Beck sebagai pianis dan Alex Lipowski sebagai pemain xylophone, Diptico dimainkan dengan baik. Xylophone sendiri adalah alat musik pukul yang berasal dari Slovakia. Namun nama xylophone adalah etimologi dari bahasa Yunani, yaitu xilo yang artinya kayu dan foni yang berarti suara. Jadi xylophone sendiri mempunyai arti alat musik kayu yang dapat menghasilkan suara dengan cara dipukul.

Diptico sendiri adalah karya kontemporer yang menurut saya pribadi cukup rumit. Mengingatkan saya atas pertanyaan yang sempat terlintas dibenak saya “kenapa acara ini sepi yah?”. Namun beberapa saat setelah Talea ensembel memulai aksinya, disitu saya seperti menemukan jawabannya “Hmm, pantes aja sepi. Yang kaya begini susah banget buat dinikmati”. Mungkin jika boleh dibandingkan dengan musik mainstream seperti karya lukis abstrak dan karya lukis realistis. Untuk saya pribadi Talea ensembel adalah contoh seniman yang mengusung art for soul, bukan art for sale jika melirik dari karya – karya yang mereka bawakan.

Kembali pada acara malam itu, harus saya akui bahwa mereka sangat kreatif dan menarik. Mungkin kata unik juga patut mereka sandang. Setelah Diptico berhasil mereka bawakan, untuk karya kedua mereka membawakan karya Frederic Rzewski – Lost and Found (1984). Dalam karya ini Alex Lipowski muncul keatas panggung dengan bertelanjang dada. Saat Ia keluar saya sangat kaget, “mau apa yah?”. Ternyata karya tersebut dibawakan tanpa instrumen, Ia (Alex Lipowski) menghasilkan suara hanya dengan tubuhnya. Entah itu dipukul, digaruk, atau yang keluarnya dari mulutnya. Adanya unsur teatrikal pada karya ini sebenarnya cukup menjadi bumbu yang menarik. Buat saya ini sangat menghibur, ada sisi jenaka dan cerita dalam karya itu namun tetap mengedepankan unsur musiknya. Dua jempol untuk Alex Lipowski atas inspirasinya.

Setelah Lost and Found selesai dibawakan dengan sangat menghibur, Talea Ensembel kembali tampil, kali ini dengan karya Pierre Boulez – Incises (2001). Kembali dengan duet Steve Beck dan Alex Lipowski. Namun walaupun karya ini terbilang lebih rumit dan lebih cepat dari Diptico, saya lebih bisa menikmati karya ini. Walaupun jika ditanya kenapa lebih suku Incises dibanding Diptico, saya sendiri tidak tau kenapa, entah karena memang lagunya yang lebih dinamis atau mungkin saya sudah mulai terbiasa karena sudah lewat setengah jam telinga saya disuguhkan dengan komposisi yang rumit. Singkat kata, karya Incises cukup bisa memanjakan telinga saya.

Setelah terhibur dengan Incises, acara tersebut istirahat selama sepuluh hingga lima belas menit. Singkatnya setelah istirahat, acara kembali dilanjutkan oleh Talea Ensembel. Kali ini pun mereka kembali membawakan karya komposisi yang bisa terbilang masih muda, yaitu karya Pierluigi Billone – Mani.Mono (2008). Masih seperti karya sebelumnya, karya yang hampir sepuluh menit ini juga masih bisa dikatakan sangat rumit namun tetap kreatif dan sangat menarik untuk disaksikan. Dikarya ini kembali sang Alex Lipowski tampil solo. Setelah karya ini berakhir, Talea ensembel menutupnya dengan karya Charles Wuorinen – Percussion Duo (1979). Sebuah karya penutup yang menarik dan cukup memberikan kesan kepada saya pribadi.

Dengan berakhirnya Percussion Duo maka berakhir pula  pertunjukan musik kontemporer dari Talea Ensembel. Saya merasa apresiasi saya cukup terbayar dengan penampilan mereka, dan bisa pulang dengan inspirasi yang mereka tawarkan. Dari kacamata pribadi saya acara Art Summit yang mengusung tema “Dengan Seni Budaya Membangun Karakter Bangsa” berhasil menambah pengetahuan dari sisi berkesenian, walaupun dari sisi marketing atau sukses tidaknya mereka menarik minat masyarakat untuk hadir masih dikategorikan kurang berhasil pada malam itu. Mungkin dengan promosi yang lebih terarah, lain waktu acara tersebut bisa lebih sukses baik dari segi art for soul dan art for sale. Terima kasih.


Artikel Menarik Lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar